Puisi: Pidato Seorang Demonstran Karya Mansur Samin
Jabarkelana - Puisi: Pidato Seorang Demonstran Karya Mansur Samin - Puisi ini merupakan salah satu karya Mansur Samin, seorang penyair dan aktivis yang terlibat dalam gerakan mahasiswa tahun 1966. Puisi ini dimuat dalam antologi Angkatan '66 yang diterbitkan pada tahun 1968. Puisi ini mengungkapkan perasaan dan pandangan seorang demonstran yang menentang pemerintahan yang korup, kejam, dan tidak adil.
Pidato Seorang Demonstran
Mereka telah tembak teman kita
ketika mendobrak sekretariat negara
sekarang jelas bagi saudara
sampai mana kebenaran hukum di Indonesia
Ketika kesukaran tambah menjadi
para menteri sibuk ke luar negeri
tapi korupsi tetap meraja
sebab percaya keadaan berubah
rakyat diam saja
Ketika produksi negara kosong
para pemimpin asyik ngomong
tapi harga-harga terus menanjak
sebab percaya diatasi dengan mupakat
rakyat diam saja
Di masa gestok rakyat dibunuh
para menteri saling menuduh
kaum penjilat mulai beraksi
maka fitnah makin berjangkit
toh rakyat masih terus diam saja
Mereka diupah oleh jerih orang tua kita
tapi tak tahu cara terima kasih, bahkan memfitnah
Kita dituduh mendongkel wibawa kepala negara
apakah kita masih terus diam saja?
Sumber: Angkatan '66 (1968)
Latar Belakang Puisi
Puisi ini dibuat dalam konteks sejarah yang penuh gejolak di Indonesia. Pada tahun 1965, terjadi peristiwa G30S/PKI yang menewaskan enam jenderal dan mencoba melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno. Peristiwa ini memicu terjadinya pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI oleh militer dan kelompok anti-komunis.
Pada tahun 1966, terjadi pergeseran kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, yang kemudian menjadi presiden kedua Indonesia. Soeharto membentuk Orde Baru yang mengklaim akan membawa stabilitas, pembangunan, dan kemakmuran bagi rakyat. Namun, di bawah Orde Baru, terjadi berbagai pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, nepotisme, dan penindasan terhadap kritik dan oposisi.
Salah satu kelompok yang berani mengkritik dan menentang Orde Baru adalah mahasiswa. Mahasiswa melakukan berbagai aksi demonstrasi untuk menuntut perubahan dan reformasi. Mereka mengecam praktik korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah. Mereka juga menuntut agar Soekarno dipulihkan sebagai presiden dan agar PKI dibubarkan.
Puisi ini merefleksikan semangat perlawanan dan keberanian mahasiswa dalam menghadapi pemerintah yang otoriter dan represif. Puisi ini juga mengekspresikan rasa frustrasi dan ketidakpuasan terhadap keadaan sosial dan politik yang tidak menguntungkan rakyat.
Struktur dan Makna Puisi
Puisi ini terdiri dari lima bait dengan jumlah baris yang bervariasi. Puisi ini menggunakan gaya bahasa yang lugas, tegas, dan provokatif. Puisi ini juga menggunakan teknik pengulangan untuk menekankan pesan dan sikap penyair.
Bait pertama menggambarkan peristiwa penembakan teman demonstran oleh aparat keamanan saat mendobrak sekretariat negara. Ini menunjukkan bahwa demonstran mengambil risiko nyawa mereka untuk menyampaikan aspirasi mereka. Ini juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak menghormati hak rakyat untuk berpendapat dan berdemo. Penyair menanyakan sampai mana kebenaran hukum di Indonesia, yang seharusnya melindungi rakyat, bukan menindasnya.
Bait kedua mengkritik perilaku para menteri yang sibuk ke luar negeri, sementara masalah di dalam negeri tidak terselesaikan. Penyair menyoroti tingginya tingkat korupsi di pemerintahan, yang merugikan rakyat. Penyair juga mengejek sikap percaya pemerintah bahwa keadaan akan berubah, padahal rakyat hanya diam saja. Ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak peduli dengan nasib rakyat, dan rakyat tidak berdaya untuk mengubah keadaan.
Bait ketiga menyoroti kondisi ekonomi yang buruk, di mana produksi negara kosong, sementara harga-harga terus menanjak. Penyair mengkritik para pemimpin yang asyik berbicara, tetapi tidak bertindak. Penyair juga mengejek sikap percaya pemerintah bahwa masalah akan diatasi dengan mufakat, padahal rakyat hanya diam saja. Ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak kompeten dalam mengelola perekonomian, dan rakyat tidak memiliki suara dalam menentukan kebijakan.
Bait keempat mengacu pada peristiwa Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), yang merupakan nama lain dari G30S/PKI. Penyair menyatakan bahwa rakyat dibunuh dalam peristiwa tersebut, sementara para menteri saling menuduh. Penyair juga menyebutkan bahwa kaum penjilat mulai beraksi, dan fitnah makin berjangkit. Ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan yang terjadi, dan malah memanfaatkan situasi untuk memperkuat posisi mereka. Ini juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak bersih dari pengaruh komunis, dan malah menuduh orang lain sebagai komunis.
Bait kelima mengungkapkan bahwa para demonstran diupah oleh jerih orang tua mereka, yang telah berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Namun, pemerintah tidak menghargai pengorbanan mereka, dan malah memfitnah mereka sebagai pengkhianat. Penyair menanyakan apakah rakyat masih terus diam saja, atau akan bangkit untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Ini menunjukkan bahwa para demonstran memiliki idealisme dan nasionalisme yang tinggi, dan ingin melanjutkan perjuangan orang tua mereka. Ini juga menunjukkan bahwa para demonstran menantang pemerintah untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka, dan mengajak rakyat untuk bersatu dan beraksi.
Pesan dan Nilai Puisi
Puisi ini memiliki pesan dan nilai yang relevan hingga saat ini. Puisi ini mengajarkan kita untuk berani mengkritik dan menentang ketidakadilan dan ketidakbenaran yang terjadi di sekitar kita. Puisi ini juga mengajarkan kita untuk tidak diam dan pasrah, tetapi berpartisipasi aktif dalam perubahan sosial dan politik. Puisi ini juga mengajarkan kita untuk menghormati dan menghargai pengorbanan para pejuang kemerdekaan, dan melanjutkan perjuangan mereka untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik.
Puisi ini merupakan salah satu contoh puisi yang memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar dalam sejarah Indonesia. Puisi ini menjadi salah satu inspirasi bagi gerakan mahasiswa yang berperan penting dalam menjatuhkan rezim Orde Baru pada tahun 1998. Puisi ini juga menjadi salah satu saksi bisu dari dinamika sosial dan politik yang terjadi di Indonesia pada masa itu.
Puisi ini layak untuk dipelajari dan diapresiasi sebagai salah satu karya sastra yang menggugah dan bermakna. Puisi ini juga layak untuk dijadikan sebagai bahan refleksi dan introspeksi bagi kita sebagai warga negara Indonesia. Puisi ini mengingatkan kita bahwa kita memiliki hak dan kewajiban untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa dan negara. Puisi ini juga mengingatkan kita bahwa kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan mempertahankan nilai-nilai kemerdekaan, demokrasi, dan keadilan di Indonesia.
Posting Komentar untuk "Puisi: Pidato Seorang Demonstran Karya Mansur Samin"